Rabu, 02 Januari 2019

BAB 2 - Pengertian Waris dari Fiqih Waris oleh Akhmad Sarwat, Lc.

Silahkan menggunakan Bookmark dengan cara tekan tombol "Ctrl+D" secara bersamaan pada Komputer atau Laptop Anda untuk mendapatkan notifikasi dari Portal Sadri

Silahkan klik Link yang "teks berwarna biru" di bawah ini untuk mendapatkan filenya

https://drive.google.com/open?id=0B3UxDd4duYHuYktneXoxN0JWSTg

Semoga bermanfaat, dan terima kasih atas kunjungan anda.

BAB 2

Pengertian Waris

1. Definisi

1.1. Bahasa

Al-miirats (الميراث) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (وَرِثَ يَرِثُ إِرْثًا وَمِيْرَاثًا) waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ
"... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
العُلَمَاءُ ْوَرَثَةُ الأَنْبِيَاءَ
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.

1.2. Pengertian syariah

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

2. Waris, Hibah dan Wasiat

Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan wasiat. Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali kesulitan saat membedakannya.
Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.

WARIS
HIBAH
WASIAT
Waktu
Setelah wafat
Sebelum wafat
Setelah wafat
Penerima
Ahli waris
ahli waris &
bukan ahli waris
bukan ahli waris
Nilai
Sesuai faraidh
Bebas
Maksimal 1/3
Hukum
wajib
Sunnah
Sunnah

2.1. Waktu

Dari segi wattu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta itu.
Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia meninggal dunia.

2.2. Penerima

Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris. Penerima washiyat harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima lewat jalur washiat.
Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.

2.3. Nilai

Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu faraidh.
Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3. Ada juga para ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para ashabul furudh. Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah sekaligus.
Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan. Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang diharamkan.
Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus dibatalkan.

2.4. Hukum

Pembagian  waris itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal muwarrits, karena merupakan salah satu kewajiban atas harta.
Sedangkan memberikan washiyat hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya sunnah.

3. Istilah-istilah dalam ilmu waris

Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas, dimana istilah itu seringkali tidak sama dengan istilah yang umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah yang akan seringkali muncul dalam mata kuliah ini.

3.1. Tarikah

Tarikah, (تركة) kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan.
Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).

3.2. Fardh

Fardh (فرض) adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris yang telah ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan fardh.
Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya, apabila suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4 bagian bila suaminya tidak punya keturunan.

3.3. Ashhabul Furudh.

Ashabul furudh (أصحاب الفروض) sesuai dengan namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.
Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri.
Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta muwarristnya.

3.4. Ashabah

Istilah ashabaha (عصبة) berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh.
Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu 1 – 1/8 = 7/8.

3.5. Sahm

Sahm (سهم) adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan kepada setiap ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala mereka.
Misalnya,

3.6. Nasab

Nasab (نسب) adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah (keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut bunuwwah.

3.7. Al-Far'u

Istilah (الفرع) bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut ke bawahnya.

3.8. Al-Ashl

Yang dimaksud dengan istilah al-ashl (الأصل) adalah ayah kandung dan ibu kandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek). Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.

Jumat, 28 Desember 2018

BAB 1 - Urgensi dan Pensyariatan dari Fiqih Mawaris oleh Akhmad Sarwat, Lc.

Silahkan menggunakan Bookmark dengan cara tekan tombol "Ctrl+D" secara bersamaan pada Komputer atau Laptop Anda untuk mendapatkan notifikasi dari Portal Sadri

Silahkan klik Link yang "teks berwarna biru" di bawah ini untuk mendapatkan filenya

https://drive.google.com/open?id=0B3UxDd4duYHuYktneXoxN0JWSTg

Semoga bermanfaat, dan terima kasih atas kunjungan anda.



1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris

Untuk apa kita mempelajari hukum waris? Bukankah sudah ada kiyai dan para ulama yang bisa menangani urusan waris? Bukankah biasanya membagi waris menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama (KUA)?
Barangkali pertanyaan seperti itu muncul di benak kita ketika pertama kali melihat buku ini.
Pertanyaan seperti itu mungkin ada benarnya. Sebab biasanya urusan pembagian waris memang menjadi urusan para kiyai dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak KUA. Jadi buat apa kita yang tidak punya urusan ini pakai sok belajar ilmu waris?
Pada bab pertama ini kita akan mempelajari kenapa kita yang awam ini perlu dan harus belajar ilmu waris. Ada beberapa sebab dan alasan yang melatarbelakangi hal itu. Antara lain :

1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut

Sebagaimana kita sadari meski bangsa Indonesia ini mayoritas muslim, namun kita tahu bahwa agama kita diperangi lewat berbagai macam bentuk penggerogotan dari dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan berbagai produk hukum yang bukan hukum Islam, seperti hukum barat dan hukum adat, lewat berbagai kurikulum pendidikan yang kita dapat dari sistem pendidikan nasional, atau dari adat istiadat turun temurun.
Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis generasi muslim yang rajin shalat 5 waktu, fasih membaca Al-Quran, aktif mengaji kesana-kemari, gemar menghidupkan amaliyah sunnah, tetapi sama sekali tidak paham alias merasa asing dengan hukum waris Islam.
Keterasingan mereka atas hukum waris Islam ini merupakan kehancuran umat Islam yang sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu.
Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan perintah untuk mempelajari ilmu waris, sebab ilmu waris itu setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang pertama kali akan diangkat dari muka bumi.
عَنِ الأَعْرَجِ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ العِلْمِ وَإِنَّهُ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r تَعَلَّمُوا القُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَإِنَّ العِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ الاِثْنَانِ فيِ الفَرِيْضَةِ لاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِي بِهَا – رواه الحاكم
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)[1]

1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran

Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu waris, khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga secara khusus memerintahkan umat Islam mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau menyebutkan kita harus mempelajari ilmu waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ t أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ كَمَا تَتَعَلَّمُوْنَ القُرْآنَ .
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata, "Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran". [2]
Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu waris ini sangat penting bagi umat Islam. Karena disejajarkan dengan belajar Al-Quran.

1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga

Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga adalah masalah harta waris. Dari banyak kasus yang terjadi, umumnya berhulu dari kurang pahamnya para anggota keluarga atas aturan dan ketentuan dalam hukum waris Islam.
Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi Islam ternyata punya dampak yang sangat besar. Salah satunya adalah munculnya perpecahan keluarga. Lantaran ketika orang tua wafat, anak-anak yang tidak mengenal ilmu waris itu saling berebut harta disebabkan karena parameter yang mereka gunakan saling berbeda.
Sebagian anak ada yang ingin menerapkan hukum waris versi adat. Yang lainnya mau versi barat. Sebagiannya mau pakai hukum Islam.
Seandainya orang tua mereka telah mengjaari dan mendidik mereka sejak kecil dengan ilmu waris Islam, niscaya perpecahan keluarga tidak akan terjadi. Sebab selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh dengan pendidikan Islam, mereka pun dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama yang mengajarkan bagaimana cara membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang masalah waris, umumnya yang menjadi penyebab utama adalah awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum waris Islam.
Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga yang barangkali bukan terjadi hari ini adalah mempersiapkan anak-anak kita, terutama generasi muda, dengan bekal ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal merea sudah punya pedoman buat bekal ketika dewasa nanti.

1.5. Ancaman Akhirat

Selain dua alasan di atas, memang Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka.
Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang menghinakan.
Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14)
Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan yang menghinakan.
Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah tetapkan buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua. Nauzu billahi min zalik.

2. Pensyariatan

Ketentuan dan kewajiban membagi waris dalam syariah Islam ditetapkan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.

2.1. Dalil Quran

Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat, yaitu ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-Anfal ayat terakhir, yaitu ayat 75.
a. Ayat waris untuk anak
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)
b. Ayat waris untuk orang tua
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا
Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)
c. Ayat waris buat suami dan istri
.وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.  (QS. An-Nisa' : 12)
d. Ayat waris Kalalah
Kalalah adalah seorang wafat tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau  perempuan.
وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَو امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun (QS. An-Nisa' : 12)
e. Ayat waris Kalalah
Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan.
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)
وَأُوْلُواْ الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75)

2.2. Dalil Sunnah

Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum waris buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ  t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكاَفِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ
Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An-Nasai)[3]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو t قَالَ قَالَ رَسُولُ الله r لاَ يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ شَتَّى
Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ t قَالَ أنَّ النَّبِيَّ r قَضَى لِلْجَدَّتَيْنِ مِنَ الِمْيراَثِ بِالسُّدُسِ بَيْنَهُمَا
Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan buat dua orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ t قَضَى النَّبِيُّ r لِلاِبْنَةِ النِّصْفُ وَلاِبْنَةِ الاِبْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةً لِلثُّلُثَيْنِ وَمَا بَقِيَ فَلِلأُخْتِِ
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi anak tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)[4]

2.3. Dalil Ijma'

Para shahabat, tabiin dan para ulama yang mewarisi nabi telah berijma' tentang pensyariatan hukum waris ini.


[1] Al-Mustadrak ala Ash-Shahihaini lil-Hakim, jilid 18 halaman 328
[2]
[3] Nailul Authar jilid 6 halaman 55
[4] Nailul Authar jilid 6 halaman 58